Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Bahkan jauh sebelum masa kolonial Belanda, pesantren sudah ada dan berkembang
pesat di bumi nusantara. Sehingga tidak bisa dipisahkan antara santri dan
pesantren.
Menurut lembaga Research Islam, pesantren adalah suatu tempat yang
tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam
sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya. Atau dapat juga dipahami
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tumbuh ditengah
masyarakat dengan ciri, santri (murid) diasramakan dalam proses mencari dan
mendalami ilmu agama di bawah asuhan dan bimbingan kyai dan ustad yang
berkharisma.
Dalam dunia pesantren istilah santri terbagi atas dua kategori: Pertama,
santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak
bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri tidak
perlu disibukkan dengan membawa perlengkapan, tidur seperti layaknya di rumah.
Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan tanggung
jawab. Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di
sekitar pesantren. Mereka bolak-balik (ngelajo) dari rumahnya sendiri. Para
santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas
lainnya.
Dalam lembaga pendidikan pesantren terdapat beberapa varian yang sangat
penting dalam perjalanannya sebagai lembaga pendidikan, setidaknya terdapat
lima varian yang penting dan terikat dalam pondok peosantren. Kelima varian
tersebut meliputi kyai (ulama), pondok (asrama), masjid (mushalla), santri dan
proses pembelajaran dan pengkajian kitab-kitab klasik atau biasa dikenal dengan
istilah Kitab Kuning. Seiring perkembangan zaman pesantren kemudian mau tidak
mau menambah varian lain dalam menangani perjalanan pondok pesantren tersebut,
bisa saja varian tambahannya adalah manajemen, yayasan, sistem, pengurus,
organisasi, tata tertib dan mungkin juga kurikulum pembelajarannya, yang
tentunya tambahan varian dalam pondok pesantren disesuaikan dengan
kebutuhannya.
baca juga :
Pesantren, Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Indonesia”
PONDOK PESANTREN
Berangkat dari model pondok pesantren ini adalah, terciptanya santri
sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dan bermoral. Hal ini karena
suasana lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara
santri dengan santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian,
tanggung jawab dan pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari kyai,
serta masih banyak lagi keunggulan dari pendidikan model pondok pesantren.
Sekarang bermunculan permintaan sumber daya santri baik dari masyarakat
maupun lembaga lain dalam mengurus masjid, sekolah dan lembaga lainnya. Maka
tak heran sekarang banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru
dengan lembaga pesantren yang didirikan oleh para kyai. Hal ini setidaknya
dapat dilihat dari munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada
beberapa lembaga pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.
Berbicara kemerdekaan RI, tentu tidak terlepas dari peran Ulama dan kaum
Santri. Dalam bukunya Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, ada tiga fase ulama
pesantren dalam menentang penjajah (Marwan Saridjo, 1980). Pertama, mengadakan
‘uzlah, yakni mengasingkan diri ke tempat terpencil yang jauh dari jangkauan
penjajah; Kedua, bersikap non-kooperatif dan sering mengadakan perlawanan
secara diam-diam, dan; Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan secara
fisik. Pada perlawanan fisik inilah kaum kaum santri berjuang dalam jihad
mengangkat senjata di medan perang.
Selama masa penjajahan pesantren memiliki peran ganda, yaitu sebagai
pusat penyebaran Islam sekaligus sebagai pusat penggemblengan para santri dan
umat Islam untuk menumbuhkan semangat jihad sebagai hizbullah, membela agama
dan tanah air dari cengkeraman penjajah. Untuk membakar semangat jihad melawan
penjajah, ulama pesantren mengeluarkan sejumlah fatwa seperti hubb al-wathan
min al-iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman), man tashabbaha bi
qawm fahuwa minhum (barang siapa meniru suatu kaum, berarti ia termasuk bagian
dari kaum itu).
Sudah tidak bisa dielakkan lagi, bahwa banyak dari kalangan pesantren
yang berjasa untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan dengan
taruhan nyawanya para santri mempertaruhkan jiwa raganya demi bangsa dan
negara. Seperti jihad perang Diponegoro yang merupakan perang terbesar di Pulau
Jawa pada masa itu telah menguras keuangan pemerintah Belanda di susul
meletusnya pertempuran 10 November yang disertai dengan resolusi jihad KH
Hasyim Asyari. Yang sekarang itu ditetapkan sebagai hari pahlawan. Bukan hanya
dua peristiwa itu saja yang menerangkan besarnya kiprah para santri dalam
resolusi jihad untuk Indonesia, banyak tokoh-tokoh yang ikut andil dalam
merumuskan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia yang juga mempunyai
latar belakang sebagai santri.
Kemunculan kiprah sosok santri yang kemudian telah mengukir bangsa
Indonesia yang pada akhirnya mendapatkan bintang Pahlawan Nasional seperti
Pangeran Diponegoro, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Zainal Arifin, KH
Wahid Hasyim, KH Zainal Mustofa, KH Noer Ali, KH Abdul Alim, KH Idham Cholid,
Kiai Wahab Chasbullah dan masih banyak santri-santri yang telah mempertaruhkan
jiwa dan raganya demi kemerdekaan RI.
Bahkan, Habib Husain Al Mutohhar berapi-api membakar jiwa rakyat
Indonesia dengan menciptkan lagu 17 Agustus dan Syukur sebagai wujud sosok
santri yang cinta Tanah Air dan rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Mereka
adalah para pahlawan yang degan gigih memperjuangkan kemerdekaanIindonesia.
Mereka adalah orang-orang yang pandai dalam ilmu agama dan pernah mondok di
berbagai pesantren dengan status sebaga santri.
baca juga :
Mempertegas Peran Santri
PENDIDIKAN POLITIK
Perkembangan politik di Indonesia berpengaruh besar dalam membangun
peradaban indonesia. Era sekarang pondok pesantren pun tidak melulu mengajarkan
pendidikan agama kepada santrinya. Pendidikan politik pun menjadi penting untuk
diajarkan kepada para santri seiring berkembangnya politik di Indonesia.
Bahkan, kaum sarungan juga pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia,
seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tidak hanya pada masa setelah
kemerdekaan, kiprah para santri dimasa sebelum kemerdekaan Indonesia juga
sangat besar.
Pendidikan politik yang biasa dilakukan sebagai proses pembinaan
kesadaran warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban perlu disosialisasikan
kepada warga negara Indonesia, termasuk di kalangan pondok pesantren. Era
sekarang santri diharapkan berpartisipasi dalam dinamika politik di Indonesia
untuk mewujudkan tatanan politik yang bermoral guna membangun bangsa.
Jika kita kembali ke sejarah sejak 1999, kaum santri mulai menduduki
posisi penting di pemerintahan. Gus Dur beliau merupakan presiden RI ke-4 yang
berlatar belakang santri, kontribusi positif santri dalam membangun bangsa yang
bermoral pun bisa kita lihat pada UU Perkawinan 1974 dan UU Peradilan Agama
1990.
UU tersebut merupakan hasil kontribusi positif kaum santri dalam
mengaplikasikan ilmu nya dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengintegrasian perjuangan islam yang dilakukan para santri dalam perjuangan
nasional telah menemukan momentum yang tepat pada gerakkan reformasi berupa
perubahan UUD 1945 (1999-2002) yang merupakan muara seluruh tuntutan reformasi.
Kaum santri selama ini dikenal santun dalam berpolitik. Mereka memiliki
pendidikan moral dan etika yang tinggi dan dikenal lebih taat memenuhi dan
mengaplikasikan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dan gigih
memperjuangkan berlakunya syariat Islam, baik secara formal dalam berbagai
bentuk perundang-undangan atau pun secara fungsional melalui sosialisasi nilai-nilai
moral ke dalam setiap praktik kekuasaan dan kehidupan sosial.
Indonesia sebagai negara demokrasi telah mengalami pasang surut dalam
tatanan dinamika politiknya, parpol yang seharusnya menjadi wadah menampung
aspirasi masyarakat dan sebagai pemandu kepentingan masyarakat dalam negara
demokrasi sudah beralih pemahaman maupun pandangan. Seluruhnya terpulang kepada
para aktivis politik santri untuk bersedia melakukan praktik politik yang bukan
sekadar meraih kekuasaan dan bukan sekadar menjadikan kekuasan hanya untuk
memenuhi selera materialnya saja.
Hari Santri yang jatuh pada 22
Oktober, semua tantangan ini membutuhkan SDM pemimpin dan profesional berbagai
kalangan termasuk dari kalangan santri. Era globalisasi peran politik umat
Islam, kyai dan pesantren tetap mempunyai perannya dalam membangun bangsa.
Dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat dari konsep karakter building
adalah dekadensi moral, korupsi, tindak kekerasan dan lain-lain. Masalah
pendidikan, khususnya sistem sekolah di kota-kota besar tidak lagi menjanjikan
kesalehan moral dan sosial anak didik. Dalam kondisi inilah pesantren muncul
sebagai alternatif penting. Dirgahayu Hari Santri !
________________________________________
* Kiswanto, Dosen Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, mahasiswa
program Doktoral Ilmu Lingkungan di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang,
Jawa Tengah. Email: kiswantoanto5@gmail.com
Sumber : serambinews.com
Bagikan
Santri dalam Resolusi Jihad dan Politik
4/
5
Oleh
Hikayat Santri