Tampilkan postingan dengan label Nasehat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasehat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 November 2018

7 Tips Memilih Pesantren Yang Baik Untuk Kelanjutan Pendidikan Anak


7 Tips Memilih Pesantren Yang Baik Untuk  Kelanjutan Pendidikan Anak

Saat ini pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan anak yang menjadi solusi untuk menghindari dari pergaulan bebas, yang hari ini  sangat meresahkan dikalangan remaja dan pemuda. Banyak orang tua lebih memilih pesantren dengan segala pertimbangan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi pada anak. Dan terbukti, setiap tahunnya, rata-rata pesantren di seluruh Indonesia menampung santri dengan jumlah pendaftar membludak (overload), apalagi pesantren yang sudah maju dan berkembang pesat.

Namun, tidak semua harapan para orang tua dapat terpenuhi, ada yang tidak lulus seleksi anaknya, ada yang sudah lulus tapi anaknya tidak betah, ada yang sudah betah namun terkendala pada biaya pendidikan, dan masalah lainnya sering menimpa para orang tua wali santri.

 Nah, berhubung saat ini sudah memasuki akhir tahun, beberapa pesantren sudah mulai melakukan persiapan penerimaan santri baru bahkan ada yang sudah membukanya, pada kesempatan ini hikayatsantri.com mencoba merangkum beberapa ulasan mengenai tips memilih pesantren yang baik yang disadur dari berbagai sumber, yang dapat dijadikan sebagai bacaan rujukan orang tua sebelum memasukkan anaknya ke pesantren.

 Perhatikan Tipe, Sistem dan Model Pendidikan Pesantren


Di Indonesia umumnya terdapat 2 (dua) jenis tipe pondok pesantren, Salafi (tradisional) dan Modern (Terpadu, Ashriyah), silakan ditentukan terlebih dahulu, si anak maunya pesantren yang jenis seperti apa, Salafi atau Modern, salafi lebih mengkaji pada kitab-kitab kuning dan focus pada ilmu pengetahuan saja umumnya, dengan system pengajian tradisional (seperti sorogan, wetonan, dan bandongan), sedangkan modern pendidikannya memadukan ilmu agama dan umum, dan terdapat jenjang pendidikannya, tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah.  Kemudian pesantren modern juga terdapat kegiatan ekstrakurikulernya, layaknya sekolah umum, hanya saja pesantren lebih bervariasi. Pesantren salafi juga ada kegiatan ekstrakurikulernya, hanya saja tidak sebanyak dan seaktif pesantren modern.

Perhatikan Biaya Pendidikannya

Pilihlah pesantren yang sesuai dengan kemampuan finansial, agar tidak terjadi masalah pada pendidikan anak, biaya pendidikan salah satu komponen pendukung jalannya kegiatan pembelajaran untuk menunjang aktivitas proses belajar mengajar, dan ini merupakan bagian dari pada salah satu pengorbanan dalam menuntut ilmu. Setiap pesantren berbeda-beda biaya pendidikannya, tergantung pada system, sarana dan prasarana, dan tenaga kependidikan yang terdapat pada pesantren tersebut.

Maka sebaiknya, para orang tua memastikan biaya pendidikan terlebih dahulu sebelum memilih pesantren, penuhi keinginan anak sesuai kemampuan finansial agar tidak bermasalah pada pembiayaan pendidikan. Karena juga tidak sedikit, anak-anak putus pendidikannya di pesantren terkendala pada biaya.


 Perhatikan Sarana dan Prasarana Pesantren

7 Tips Memilih Pesantren Yang Baik Untuk  Kelanjutan Pendidikan Anak


Fasilitas pendidikan bagian dari pada salah satu penunjang kesuksesan pendidikan anak, yang tidak dapat dipisahkan dari lembaga pendidikan. Hal ini memang bukan rumus yang baku, karena ada juga pesantren yang berhasil melahirkan ouput santrinya berkualitas meskipun minim fasilitas di pesantrennya.

Ada banyak kasus, para orang tua mengeluh di tengah jalan karena kurangnya fasilitas di pesantren anaknya, dan kerap membanding-bandingkan dengan pesantren lain yang jauh lebih lengkap dari segi fasilitasnya. Padahal, biaya pendidikan yang dikeluarkan tidak seberapa besar dari pesantren yang lebih lengkap fasilitasnya. Jika ingin membanding-bandingkan harus fair, jangan sampai terjebak dengan standar pendidikan pesantren lain, makanya sangat penting memperhatikan terlebih dahulu fasilitas pesantren yang dituju agar tidak ada keluhan dan penyesalan di kemudian hari.

     Perhatikan Kegiatan Formal dan Informal Pesantren

Kegiatan tiap pesantren berbeda-beda, meskipun ada satu dua hal yang sama. Namun, semua kegiatan pesantren sangat tergantung pada system dan pola pendidikan di pesantren tersebut. Biasanya si anak akan memilih pesantren yang terdapat kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakatnya, terutama dalam kegiatan ekstrakurikulernya.

7 Tips Memilih Pesantren Yang Baik Untuk  Kelanjutan Pendidikan Anak


Umumnya, santri lebih betah di pesantren yang sesuai dengan keinginannya. Maka para orang tua harus mengecek terlebih dahulu, jika menginginkan anaknya menjadi penghafal Al Qur’an maka pilih pesantren dan focus pada penghafalan Al Qur’an yang otomatis kegiatannya lebih ringan, lebih banyak waktu untuk kegiatan penghafalan.

     Perhatikan Kurikulum Pendidikannya

7 Tips Memilih Pesantren Yang Baik Untuk  Kelanjutan Pendidikan Anak


      Tidak semua sama kurikulum antar pesantren, semua tergantung arah dan ouput yang ingin dihasilkan oleh pesantren tersebut, jika pun terdapat kesamaan, biasanya pada kurikulum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah seperti kurikulum 2013 yang saat ini sedang berjalan.

  Memperhatikan kurikulum pesantren terlebih dahulu juga penting, menyesuaikan dengan kemampuan anak, karena juga tidak sedikit anak yang tidak betah di pesantren yang akhirnya pindah karena ketidakmampuan anak menyerap sejumlah pelajaran yang terdapat di pesantren. Kemampuan anak memang dapat diasah dan ditingkatkan, tapi yang harus diingat bahwa setiap anak berbeda kemampuan masing-masing, dan memilih pesantren yang sesuai keinginan dan kemampuannya akan lebih baik.

     Perhatikan Letak Strategis dan Geografis Pesantren

7 Tips Memilih Pesantren Yang Baik Untuk  Kelanjutan Pendidikan Anak
Lokasi Pesantren Modern Al Manar Aceh | Photo hikayatsantri.com


Ada dua pertimbangan yang mesti dilihat mengenai letak strategis dan geografis pesantren, namun ada sisi positif dan negatifnya, pertama, memilih pesantren yang dekat dan mudah dijangkau agar mudah mengunjungi anak ataupun mudah menemuinya saat ada masalah di kemudian hari, namun memilih pesantren yang dekat kerap kali membuat anak tidak betah di pesantren, sebab mudah teringat akan rumah, dan mudah untuk pulang dan akan sering minta izin pulang. Dan fakta di lapangan, santri yang sering izin pulang, dominan tidak bertahan lama di pesantren, sebab baginya lebih nyaman dan enak di rumah dari pada di pesantren.

Kedua, memilih pesantren yang jauh dari rumah dan akan jarang menemui si anak, dan ini lebih baik untuk membuat anak lebih kuat dan mandiri di pesantren. Dengan catatan orang tua harus siap, harus kuat jauh dari anak, bahkan kalau bisa letaknya melewati kabupaten bahkan provinsi, agar si anak tidak sering minta izin pulang. Dan para orang tua tidak akan terlalu sering mengunjungi anaknya, sebab terlalu sering dikunjung juga membuat anak tidak betah. Jenguklah anak jarang-jarang agar cinta makin berkembang. Hidup di perantauan, jauh dari orang tua, membuat anak lebih kuat dan mandiri dari pada yang dekat dengan rumah.

Dan sisi lain mengenai letak pesantren adalah dimana keberadaannya, di kota, di perdesaan, tempat terpencil, dekat dengan pegunungan dan lainnya. Ini tergantung keinginan para orang tua. 

  Perhatikan Kenyamanan dan kebersihan Lingkungannya

7 Tips Memilih Pesantren Yang Baik Untuk  Kelanjutan Pendidikan Anak


Kenyamanan salah satu factor membuat anak betah di pesantren, baik itu dari segi kebersihan maupun keindahannya. Dan ini ada kaitannya dengan letak geografis dan strategis pesantren. Biasanya lokasi pesantren di perdesaan dan terpencil lebih nyaman dan asri, dan sedikit jauh dari perumahan masyarakat, dan ini lebih banyak diminati, sebab tidak terlalu terganggu dengan aktivitas masyarakat. Karena jika pesantren terlalu dekat dengan masyarakat, pesantren terkadang sering mengalami kendala dan sering terjadi gesekan dengan masyarakat, apalagi jika dominan masyarakatnya susah di ajak kerjasama dan tidak mau mengerti keadaan pesantren.

Jika dekat dengan perkampungan atau perumahan, pesantren tidak bisa mengatur aktivitas masyarakat, misalnya suara mesin pabrik, atau suara bising lainnya dari kegiatan masyakarat. Dan sebaliknya jika pesantren membuat kegiatan di pesantren kerap kali masyarakat terganggu, jadinya sedikit susah pesantren menggerakkan kegiatannya, kecuali masyarakat ditempat tersebut memang sangat harmonis mudah diajak kerjasama dan saling memahami dan mengerti. Dan hal ini, sulit terjadi, karena tipikal masyarakat berbeda-beda.

Demikian beberapa tips dari hikayatsantri.com kiat memilih pesantren, dan ini bersifat opini yang dapat direvisi dan dikoreksi. Semoga bermanfaat. 

Tonton Videonya : 





Baca selengkapnya

Sabtu, 20 Oktober 2018

Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian

Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian


Dalam menghadapi ujian, pesantren mempunyai prinsip tersendiri yang harus di pahami oleh santri, dan harus di amalkan untuk mendapat nilai yang optimal dalam ujian, nilai yang sangat berharga sebagai modal untuk mengarungi kehidupan kelak.
Prinsip ini dipopulerkan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor melalui Kyainya KH. Hasan Abdullah Sahal. Gontor selalu menjadi inspirasi untuk pesantren lain khususnya pesantren yang menganut sistem modern dan mengikuti kurikulum yang di gunakan oleh Gontor.
“kita menuntut ilmu untuk menjadi orang baik, bukan orang yang bisa menjawab pertanyaan ujian saja. ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian. Jangan salah kaprah.”

Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian

Melalui bait kata-kata diatas, pesantren ingin mengatakan kepada santri bahwa nilai utama yang harus digapai melalui ujian bukanlah pada hasil nilai yang tertulis di lembaran kertas, yang kemudian menjadi kebanggaan santri untuk diperlihatkan kepada orang tua, melainkan predikat yang harus diraih adalah adanya  perubahan sikap pada diri santri itu sendiri yang berubah menjadi lebih baik setelah mengikuti ujian.
Pola pikir santri dalam menghadapi ujian harus menjadi “ kita belajar untuk menjadi orang baik” bukan sebaliknya. Didalam menghadapi ujian ada fase-fase yang harus dijalani, memulai dengan sebuah niat, kesungguhan, usaha yang keras dan tentunya di imbangi dengan do’a. Dari totalitas kehidupan yang dijalani selama ujian inilah akan terbentuk suatu nilai dan kecerdasan spiritual pada santri.
Dan salah satu nilai plus pesantren dalam menghadapi ujian adalah pengkondisian. Pesantren menciptakan suasana dan ruh ujiannya. Dan semua kegiatan selain yang berkenaan dengan belajar akan diberhentikan untuk sementara waktu, semua santri harus focus pada ujian. Ketika ruh ujian ini sudah tercipta, maka santri sulit terpengaruhi dengan kegiatan lain kecuali untuk belajar dan beribadah. Dan mungkin ini yang tidak didapatkan di luar pesantren, ruh ujian siswa sering terganggu dengan kegiatan lain dengan aneka ragam kegiatan yang sifatnya diluar sekolah.
Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian

Dan selama pengkondisian ini, para santri terus diarahkan oleh ustadz(ah)-nya melalui bimbingan belajar yang terkontrol pada malam hari, melalui nasehat-nasehat kyainya, diberikan tips-tips tertentu dalam menghadapi ujian, kemudian belum lagi dengan kegiatan sahiral layalnya (bangun ditengah malam untuk tahajud dan belajar), yang intinya pola pikir santri terus ditata menjadi lebih baik dalam menghadapi ujian.
Baca Juga : 

Menjadi Santri, Beratnya Perjuangan Namun Kaya Pengalaman

Kenapa pola pikir dalam menghadapi ujian “ kita belajar untuk menjadi orang baik” ini perlu ditanamkan pada jiwa santri ? Karena problematika dalam keseharian proses pendidikan kita hari ini adalah masih banyak para pelajar yang menganggap belajar hanya untuk bisa menjawab soal-soal mata pelajaran yang diujikan. Padahal, makna pelajar lebih dari itu.
Nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal sangat menyentuh dan menginspirasi, banyak kejadian hidup yang harus kita maknai, dan tugas terbesar kita hidup pun untuk memaknai hidup. Seluruh aspek yang kita lakukan berawal dari sebuah pemikiran. Perlakuan yang salah karena dari pemikiran yang salah pula. Maka kita harus tata pemikiran dengan rapi dan benar. “kita belajar untuk menjadi orang baik.”
Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian

 Di zaman yang modern ini banyak kita temukan orang yang pintar sekali, namun akhlak dan kelakuannya tidak mencermikan kepintarannya. Banyak orang yang merelakan sikap kejujurannya, hanya demi sebuah angka yang tinggi.
Masya Allah, miris sekali rasanya melihat para pelajar yang membeli jawaban pertanyaan ujian. Mereka rela berbuat kecurangan hanya untuk sebuah angka yang tertera dalam sebuah kertas.

Baca Juga : 

Wajib Baca ! Ini Dia Pesan KH. Hasan Abdullah Sahal Untuk Wali Santri

Orang tua yang baik pasti menyekolahkan anaknya untuk menjadi orang yang baik dan bermanfaat bukan ? maka jangan salah melangkah. Untuk apa pintar tapi korupsi dan menyusahkan orang lain ? untuk apa pintar tapi selalu membuat kriminal ? sebagai manusia kita diberikan fitrah untuk mengetahui dan memilih mana yang salah dan mana yang benar.
Melangkah ke jalan yang benar dan melangkah ke jalan yang salah itu juga termasuk pilihan hidup . Negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang baik menganggap anak yang tidak bisa matematika lebih baik dari pada anak yang tidak bisa mengantri, karena tidak bisa mengantri adalah masalah sosial dan akhlak.
Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian

Di era modern saat ini, tentu orang yang hanya bermodalkan baik saja tidak cukup untuk kompeten dan bersaing. Butuh kualitas dan kreativitas. Maka antara intelektual dan akhlak harus seimbang.
Di Pesantren kedua hal tersebut sangat diperhatikan, akhlak dan intelektual. Maka sangat benar apa yang dikatakan KH. Hasan Abdullah Sahal “ menuntut ilmu untuk menjadi orang baik” bukan hanya untuk menjawab soal-soal dalam ujian saja. karena belajar itu luas dan mencakup hal yang sangat banyak. Kalau kita hanya menjadi manusia yang pintar dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam soal ujian saja, nanti akan menjadi pintar namun tak bermoral sehingga dapat dengan mudah membuat kejahatan. Maka jangan salah kaprah !

Baca Juga : 

9 Tips Menarik Untuk Santri Baru Agar Betah di Pesantren

Pada akhirnya, kita memang tidak menafikan bahwa nilai yang terlihat di lembaran kertas itu penting, apalagi dengan sistem pendidikan Indonesia hari ini, nilai tersebut menjadi acuan bagi siapa saja untuk menilai kualitas seseorang. Namun,  ada variabel lain dalam kehidupan ini yang harus diketahui dan ini jauh lebih penting dari pada nilai yang tertera pada ijazah maupun rapor siswa,  yaitu nilai-nilai moral dan akhlak yang harus melekat pada prinsip kehidupan seseorang, dan ini menjadi modal utama dalam dunia pendidikan “adab lebih tinggi dari pada ilmu”. Maka mengimbangi antara keduanya jauh lebih baik, pintar berilmu dan beradab.
Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian

Untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut, pesantren selalu berusaha mengarahkan santri ke arah yang lebih baik tak terkecuali di masa ujian saja. Tak dapat dibantah, bahwa akhlak terpuji seseorang adalah suatu nilai yang paling mahal pada diri seseorang. Menjadi nilai yang tidak dapat dihargai dengan angka, ia selalu berada diatas segala-galanya yang bermuara pada nilai ibadah dan spiritual seseorang.
“Banyak orang bertitel, tapi tidak berkualitas. Dan banyak orang yang berkualitas, walaupun mereka tidak bertitel.”- KH. Hasan Abdullah Sahal

Baca selengkapnya

Sabtu, 22 September 2018

Santri dalam Resolusi Jihad dan Politik

Santri dalam Resolusi Jihad dan Politik



Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan jauh sebelum masa kolonial Belanda, pesantren sudah ada dan berkembang pesat di bumi nusantara. Sehingga tidak bisa dipisahkan antara santri dan pesantren.

Menurut lembaga Research Islam, pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya. Atau dapat juga dipahami Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tumbuh ditengah masyarakat dengan ciri, santri (murid) diasramakan dalam proses mencari dan mendalami ilmu agama di bawah asuhan dan bimbingan kyai dan ustad yang berkharisma.


Dalam dunia pesantren istilah santri terbagi atas dua kategori: Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri tidak perlu disibukkan dengan membawa perlengkapan, tidur seperti layaknya di rumah. Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan tanggung jawab. Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Mereka bolak-balik (ngelajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya.
Dalam lembaga pendidikan pesantren terdapat beberapa varian yang sangat penting dalam perjalanannya sebagai lembaga pendidikan, setidaknya terdapat lima varian yang penting dan terikat dalam pondok peosantren. Kelima varian tersebut meliputi kyai (ulama), pondok (asrama), masjid (mushalla), santri dan proses pembelajaran dan pengkajian kitab-kitab klasik atau biasa dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Seiring perkembangan zaman pesantren kemudian mau tidak mau menambah varian lain dalam menangani perjalanan pondok pesantren tersebut, bisa saja varian tambahannya adalah manajemen, yayasan, sistem, pengurus, organisasi, tata tertib dan mungkin juga kurikulum pembelajarannya, yang tentunya tambahan varian dalam pondok pesantren disesuaikan dengan kebutuhannya.

baca juga : 

Pesantren, Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Indonesia”

Santri dalam Resolusi Jihad dan Politik


PONDOK PESANTREN

Berangkat dari model pondok pesantren ini adalah, terciptanya santri sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dan bermoral. Hal ini karena suasana lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari kyai, serta masih banyak lagi keunggulan dari pendidikan model pondok pesantren.

Sekarang bermunculan permintaan sumber daya santri baik dari masyarakat maupun lembaga lain dalam mengurus masjid, sekolah dan lembaga lainnya. Maka tak heran sekarang banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan lembaga pesantren yang didirikan oleh para kyai. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.

Berbicara kemerdekaan RI, tentu tidak terlepas dari peran Ulama dan kaum Santri. Dalam bukunya Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, ada tiga fase ulama pesantren dalam menentang penjajah (Marwan Saridjo, 1980). Pertama, mengadakan ‘uzlah, yakni mengasingkan diri ke tempat terpencil yang jauh dari jangkauan penjajah; Kedua, bersikap non-kooperatif dan sering mengadakan perlawanan secara diam-diam, dan; Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan secara fisik. Pada perlawanan fisik inilah kaum kaum santri berjuang dalam jihad mengangkat senjata di medan perang.

Selama masa penjajahan pesantren memiliki peran ganda, yaitu sebagai pusat penyebaran Islam sekaligus sebagai pusat penggemblengan para santri dan umat Islam untuk menumbuhkan semangat jihad sebagai hizbullah, membela agama dan tanah air dari cengkeraman penjajah. Untuk membakar semangat jihad melawan penjajah, ulama pesantren mengeluarkan sejumlah fatwa seperti hubb al-wathan min al-iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman), man tashabbaha bi qawm fahuwa minhum (barang siapa meniru suatu kaum, berarti ia termasuk bagian dari kaum itu).

Sudah tidak bisa dielakkan lagi, bahwa banyak dari kalangan pesantren yang berjasa untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan dengan taruhan nyawanya para santri mempertaruhkan jiwa raganya demi bangsa dan negara. Seperti jihad perang Diponegoro yang merupakan perang terbesar di Pulau Jawa pada masa itu telah menguras keuangan pemerintah Belanda di susul meletusnya pertempuran 10 November yang disertai dengan resolusi jihad KH Hasyim Asyari. Yang sekarang itu ditetapkan sebagai hari pahlawan. Bukan hanya dua peristiwa itu saja yang menerangkan besarnya kiprah para santri dalam resolusi jihad untuk Indonesia, banyak tokoh-tokoh yang ikut andil dalam merumuskan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia yang juga mempunyai latar belakang sebagai santri.

Kemunculan kiprah sosok santri yang kemudian telah mengukir bangsa Indonesia yang pada akhirnya mendapatkan bintang Pahlawan Nasional seperti Pangeran Diponegoro, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Zainal Arifin, KH Wahid Hasyim, KH Zainal Mustofa, KH Noer Ali, KH Abdul Alim, KH Idham Cholid, Kiai Wahab Chasbullah dan masih banyak santri-santri yang telah mempertaruhkan jiwa dan raganya demi kemerdekaan RI.

Bahkan, Habib Husain Al Mutohhar berapi-api membakar jiwa rakyat Indonesia dengan menciptkan lagu 17 Agustus dan Syukur sebagai wujud sosok santri yang cinta Tanah Air dan rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Mereka adalah para pahlawan yang degan gigih memperjuangkan kemerdekaanIindonesia. Mereka adalah orang-orang yang pandai dalam ilmu agama dan pernah mondok di berbagai pesantren dengan status sebaga santri.

baca juga : 

Mempertegas Peran Santri

Santri dalam Resolusi Jihad dan Politik


PENDIDIKAN POLITIK

Perkembangan politik di Indonesia berpengaruh besar dalam membangun peradaban indonesia. Era sekarang pondok pesantren pun tidak melulu mengajarkan pendidikan agama kepada santrinya. Pendidikan politik pun menjadi penting untuk diajarkan kepada para santri seiring berkembangnya politik di Indonesia. Bahkan, kaum sarungan juga pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia, seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tidak hanya pada masa setelah kemerdekaan, kiprah para santri dimasa sebelum kemerdekaan Indonesia juga sangat besar.


Pendidikan politik yang biasa dilakukan sebagai proses pembinaan kesadaran warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban perlu disosialisasikan kepada warga negara Indonesia, termasuk di kalangan pondok pesantren. Era sekarang santri diharapkan berpartisipasi dalam dinamika politik di Indonesia untuk mewujudkan tatanan politik yang bermoral guna membangun bangsa.

Jika kita kembali ke sejarah sejak 1999, kaum santri mulai menduduki posisi penting di pemerintahan. Gus Dur beliau merupakan presiden RI ke-4 yang berlatar belakang santri, kontribusi positif santri dalam membangun bangsa yang bermoral pun bisa kita lihat pada UU Perkawinan 1974 dan UU Peradilan Agama 1990.

UU tersebut merupakan hasil kontribusi positif kaum santri dalam mengaplikasikan ilmu nya dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Pengintegrasian perjuangan islam yang dilakukan para santri dalam perjuangan nasional telah menemukan momentum yang tepat pada gerakkan reformasi berupa perubahan UUD 1945 (1999-2002) yang merupakan muara seluruh tuntutan reformasi.
Kaum santri selama ini dikenal santun dalam berpolitik. Mereka memiliki pendidikan moral dan etika yang tinggi dan dikenal lebih taat memenuhi dan mengaplikasikan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dan gigih memperjuangkan berlakunya syariat Islam, baik secara formal dalam berbagai bentuk perundang-undangan atau pun secara fungsional melalui sosialisasi nilai-nilai moral ke dalam setiap praktik kekuasaan dan kehidupan sosial.

Indonesia sebagai negara demokrasi telah mengalami pasang surut dalam tatanan dinamika politiknya, parpol yang seharusnya menjadi wadah menampung aspirasi masyarakat dan sebagai pemandu kepentingan masyarakat dalam negara demokrasi sudah beralih pemahaman maupun pandangan. Seluruhnya terpulang kepada para aktivis politik santri untuk bersedia melakukan praktik politik yang bukan sekadar meraih kekuasaan dan bukan sekadar menjadikan kekuasan hanya untuk memenuhi selera materialnya saja.

Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober, semua tantangan ini membutuhkan SDM pemimpin dan profesional berbagai kalangan termasuk dari kalangan santri. Era globalisasi peran politik umat Islam, kyai dan pesantren tetap mempunyai perannya dalam membangun bangsa. Dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat dari konsep karakter building adalah dekadensi moral, korupsi, tindak kekerasan dan lain-lain. Masalah pendidikan, khususnya sistem sekolah di kota-kota besar tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik. Dalam kondisi inilah pesantren muncul sebagai alternatif penting. Dirgahayu Hari Santri !

________________________________________

* Kiswanto, Dosen Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, mahasiswa program Doktoral Ilmu Lingkungan di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah. Email: kiswantoanto5@gmail.com


Sumber : serambinews.com 

Baca selengkapnya

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor


Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor


Pesantren Gontor bisa dikatakan sebagai jaringan pesantren terbesar di Indonesia. Saat ini Gontor memiliki 14 cabang resmi di seluruh Indonesia. Belum terhitung cabang baru yang mulai dibangun di Sumatera Barat dan Poso Sulawesi. Konon, santri Gontor saat ini mencapai sekitar 80 ribu santri. Jika ditambah pesantren-pesantren yang didirikan para alumni Gontor, jumlahnya bisa mencapai ratusan pesantren alumni. Dengan semua kenyataan ini, Gontor bisa dikatakan sebagai jaringan pesantren paling besar di Indonesia. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Sebagian orang mengatakan, “Hari ini adalah era Gontor.” Alasannya, banyak alumni Gontor yang menjadi pejabat tinggi atau tokoh elit. Misalnya, Din Syamsuddin, Ketua Muhammadiyyah, adalah alumni Gontor; Hasyim Muzadi, Ketua PBNU, juga alumni Gontor; Maftuh Baisyuni, Menteri Agama RI, juga alumni Gontor; dan Hidayat Nur Wahid (HNW), Ketua MPR juga alumni Gontor. Dalam saat bersamaan para alumni Gontor menjadi pejabat negara atau tokoh elit ormas.

Di kalangan pesantren Gontor, perbincangan tentang tokoh-tokoh di atas sudah sangat masyhur. Hampir setiap santri, ustadz, atau orangtua wali, sering membicarakan tokoh-tokoh itu, sekaligus memuji keberhasilan sistem Gontor. Kalau saya pribadi, lebih tertarik mencermati hal-hal lain yang lebih substansial (maknawiyah), ketimbang bicara level jabatan. Toh, seandainya jabatan-jabatan itu kemudian gagal diemban oleh para pemangkunya –misalnya demikian-, pihak pesantren juga yang akan ikut menanggung getahnya. Nanti orang-orang akan mencibir, “Dari mana dulu pesantrennya?”

Sebenarnya, banyak hal yang bisa dipelajari dari Gontor. Untuk pesantren sebesar ini tentu ada resep-resep pembangunan di baliknya. Tanpa pertolongan Allah, bagaimana bisa mengelola kerja besar seperti itu? Nah, ada baiknya kita sedikit belajar tentang resep-resep membangun kebajikan seperti yang dilakukan oleh jaringan Pesantren Gontor di seluruh Indonesia. Siapa tahu, Anda juga berminat membangun kebajikan serupa di tempat Anda masing-masing?

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor


Materi Pendidikan Santri

Materi pendidikan di Gontor tergolong unik. Ia merupakan pola terpadu dengan menggabungkan berbagai target pembinaan sekaligus. Setiap santri adalah pelajar madrasah (pendidikan agama) yang menjalani aktivitas belajar seperti umumnya pelajar sekolah biasa. Hanya saja, selain belajar materi pendidikan Islam, mereka belajar ilmu-ilmu umum (seperti Matematika dan Sains), dan belajar bahasa asing (Arab dan Inggris) secara aktif. Itu masih ditunjang dengan pembiasaan disiplin ibadah, seperti shalat berjamaah di masjid, berdzikir, dan membaca Al Qur’an.
Dari sisi keilmuwan agama, bisa dikatakan, santri Gontor (selain mahasiswa ISID) pemahamannya biasa, tidak istimewa. Dari sisi ilmu Matematika dan Sains, ternyata cukup bersaing. Banyak alumni Gontor yang kemudian bisa masuk ITB, Fakultas Kedokteran, atau sekolah ke luar negeri. Dari sisi skill berbahasa asing, mereka memiliki modal kemampuan awal yang bisa diandalkan. Meskipun tentu, untuk mencapai kesempurnaan, patut disempurnakan di tingkat universitas (PT).

Di luar itu, santri-santri Gontor diajarkan hidup sederhana. Hal itu terlihat dari menu makan sehari-hari, pakaian yang dipakai santri, fasilitas kamar untuk santri, fasilitas mandi untuk bersama, dan tempat tidur. Kesederhanaan ini memang merupakan filosofi pendidikan Gontor. Mereka dididik untuk siap hidup dalam kondisi paling pahit sekalipun. Ungkapan yang sering menjadi acuan, “Membuat anak senang, sangatlah mudah. Tetapi membuat mereka mau hidup sederhana, sangat sulit.” Kesederhanaan juga ditunjukkan oleh guru-guru dan ustadznya.

Selain sederhana, ialah kemandirian, kepemimpinan, olah raga, dan kepedulian sosial (dengan cara kerja bhakti). Santri Gontor diberi ruang untuk olah-raga, belajar kepemimpinan, dan dilibatkan dalam kerja bakti dan usaha-usaha bisnis pesantren. Hampir semua lini usaha di Gontor digerakkan oleh santri-santri sendiri dengan sistem tugas dan penjadwalan tertentu. Setiap santri akan mendapat giliran memangku suatu pekerjaan, jika waktunya telah tiba.


Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor

Prinsip Mewakafkan Diri

Para pengurus, ustadz, dan guru-guru yang terlibat di pesantren Gontor terikat dalam komitmen yang sangat kuat. Begitu mereka menyatakan diri bergabung dengan Gontor, dan ikhlas mengabdi di dalamnya, mereka dianggap telah mewakafkan diri untuk menjalankan roda pendidikan pesantren, memelihara pesantren, dan memperjuangkan pesantren. Selama mewakafkan diri, mereka harus mau terikat dengan manajemen dan aturan yang berlaku di Gontor. Jika tidak bersedia, mereka dipersilakan mencari tempat beramal di luar pesantren.

Kontrak diri seperti itu sangatlah berat, tidak mudah, terutama bagi orang-orang kota yang biasa menjalankan agenda hidupnya sendiri. Tidak semua orang mampu terlibat di pesantren Gontor, sebagaimana tidak semua orang akan diterima mengabdi disana. Diperlukan proses seleksi yang cukup panjang untuk menerima tenaga-tenaga yang akan mewakafkan dirinya di pesantren. Selain seleksi pengetahuan, komitmen keimanan, loyalitas kepesantrenan, juga seleksi ruhaniyah dengan memohon petunjuk kepada Allah.
Situasinya mirip seperti Pesantren Hidayatullah. Kader-kader Hidayatullah juga mengikatkan diri dengan kontrak mewakafkan diri untuk mengembangkan Pesantren Hidayatullah. Hanya bedanya, Hidayatullah mengembangkan banyak target gerakan dakwah; sedangkan Gontor lebih fokus di bidang pendidikan formal kepesantrenan. Dari sisi fokus pendidikan, Gontor seperti jaringan pendidikan Islam Al Azhar di Mesir, dan dari sisi komitmen para pengurus dan asatidzah-nya, mereka terikat kontrak mewakafkan diri.

Pihak pesantren sendiri bertanggung-jawab memberikan dukungan kebutuhan sosial-ekonomi kepada para pengurus dan asatidzah Gontor. Tentu nilai dukungan itu disesuaikan kebijakan, kemampuan, dan manajemen Gontor sendiri.
Bukan hanya faktor mewakafkan diri itu yang layak dihargai, tetapi ketekunan mereka untuk mengawal sistem pendidikan Islam selama bertahun-tahun, serta aktivitas kepesantrenan yang berulang-ulang, dengan tidak mengeluh dan merasa jemu, hal itu sangat patut dipuji. Semoga Allah Ta’ala menolong mereka dalam mujahadah-nya melayani Ummat Islam. Allahumma amin.

Saya sendiri, kalau mengukur diri, rasanya kelu untuk memandang beban perjuangan yang tidak ringan itu. Bagaimana bisa sabar? Bagaimana bisa tahan? Ya, Allah Ar Rahiim menolong siapapun yang menolong agama-Nya. “Dan Allah benar-benar akan menolong siapa yang menolong (agama)-Nya.” (Al Hajj: 40).
Lalu bagaimana cara Allah menolong mereka? Ya, jangan pikirkan sampai sejauh itu. Nanti hanya akan membebani diri sendiri.

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor

Pengorbanan Pendiri

Pesantren Gontor didirikan oleh sebuah keluarga. Semula ia dirintis oleh seorang ulama, sampai suatu waktu. Setelah beliau meninggal, Gontor sempat vakum untuk beberapa lama. Kemudian isteri ulama itu memberikan amanah kepada ketiga putranya untuk melanjutkan kerja besar ayahnya. Ketiga orang itulah yang kemudian dikenal sebagai Trimurti, tiga tokoh pendiri pesantren Gontor. Mereka kakak-beradik, yaitu KH. Ahmad Sahal (tertua), KH. Zainuddin Fannanie (di tengah), KH. Imam Zarkasyi (akhir). Dari ketiganya, masyarakat lebih mengenal KH. Imam Zarkasyi. Beliau wafat 30 April 1985.
Biasanya, pesantren itu didominasi oleh pendirinya dan keluarga mereka. Baik badan, fasilitas, maupun aset biasanya dimiliki oleh pendiri dan ahli warisnya. Bahkan banyak pesantren yang sekaligus merangkap badan usaha (bisnis). Target bisnisnya adalah santri-santri dan keluarga mereka. Tetapi di Gontor, pesantren itu telah diwakafkan untuk kepentingan Ummat Islam. Meskipun pendirinya keluarga, tetapi statusnya diwakafkan untuk kebajikan Ummat Islam. Pengelolaan pesantren Gontor sendiri ditangani sebuah Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor. Badan inilah yang mengelola pesantren yang telah dipindah-tangankan dari keluarga para pendirinya. Ketua MPR saat ini, Dr. Hidayat Nur Wahid masuk dalam salah satu pengurus Badan Wakaf ini bersama Prof. Din Syamsuddin. Kalau tidak salah, pengalihan kepemilikan itu dilakukan pada tahun 1959 lalu.

Tentu merupakan pengorbanan luar biasa, menyerahkan sebuah lembaga pendidikan pesantren yang dibangun dengan susah-payah menjadi status wakaf demi kebajikan Ummat Islam. Hanya sedikit sekali pendiri pesantren yang berani menempuh langkah tersebut, dengan segala perhitungan resikonya. Dan saya mengira, wallahu a’lam bisshawaab, pengorbanan besar inilah salah-satunya sebab kemajuan Gontor yang pesat di kemudian hari.

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor

Komitmen Nilai Islami

Gontor memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai Islam. Hal itu terbukti dengan penerapan prinsip-prinsip Islam di lingkungan pesantren. Setiap wanita yang masuk pesantren diwajibkan berjilbab. Tamu laki-laki dan wanita dipisah tempat istirahatnya selama di pesantren. Pesantren untuk santri laki-laki terpisah jauh dengan pesantren untuk satri wanita. Tidak ada penyatuan santri (siswa) seperti layaknya sekolah-sekolah madrasah umum. Disiplin halal-haram juga dijaga ketat. Hingga, setiap santri laki-laki saat tidur malam harus memakai celana panjang (bukan sarung). Hal itu untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Jika ada pelanggaran-pelanggaran serius, seorang santri akan dipulangkan ke orangtuanya. Kasus pencurian, keluar pesantren tanpa ijin, berkelahi, pemukulan, dan lainnya sanksinya keras. Hingga ketahuan membawa HP saja sudah cukup bagi seorang santri diberi peringatan keras. [Mereka dilatih mandiri dan dilarang membawa HP. Dibiasakan menghadapi realitas sehari-hari secara mandiri].

Sejak bertahun-tahun lalu, cendekiawan-cendekiawan Gontor telah bekerja keras menentang arus pemikiran SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme). Mereka berada di balik pusat studi INSIST yang intensif menetralisir racun-racun pemikiran SEPILIS. Mereka juga mempunyai Sekolah Tinggi ISID dengan kurikulum yang tidak memberi ruang bagi berbiaknya paham SEPILIS. Nurcholish Madjid diakui sebagai tokoh penting oleh civitas Gontor, tetapi dia tidak dianggap sebagai cendekiawan yang menjadi rujukan pemikiran. Salah satu kegiatan ilmiah di lingkungan ISID ialah pelatihan Oksidentalisme (mengkritisi peradaban Barat; sebuah cabang keilmuwan yang merupakan lawan Orientalisme).
Memang Gontor tidak menganut haluan pemikiran bercorak radikal, mereka lebih cenderung kepada madzhab pemikiran moderat; tetapi tidak berarti plin plan dalam isu-isu akidah Islam. Komitmen Gontor terhadap ajaran keislaman mainstream tidak diragukan lagi. Eksistensi pesantren itu sendiri selama 80 tahunan, membuktikan komitmen tersebut.

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor

Merangkul Semua Golongan

Kalau kita ikut shalat berjamaah di Gontor, tradisi ibadah yang dilaksanakan cenderung seperti tradisi NU. Tetapi Gontor bukan pesantren bercorak NU, bukan pesantren bercorak Muhammadiyyah, Persis, dan sebagainya. Gontor memegang prinsip, “Berdiri di atas semua golongan!” Oleh karena itu, semua kalangan Muslim Ahlus Sunnah di Indonesia atau dari luar negeri, disambut dengan baik di pesantren ini. Mereka tidak menampakkan diri sebagai penganut madzhab tertentu, tetapi mereka menerima keragaman kondisi kaum Muslimin.

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor


Doa Ribuan Santri

Sangat mengharukan kalau menyaksikan ribuan santri Gontor, berduyun-duyun ke masjid, melakukan shalat berjamaah, melakukan shalat Sunnah, membaca Al Qur’an, berdzikir, dan berdoa bersama-sama. Hal itu dilakukan terus-menerus setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, bahkan selama puluhan tahun. Kadang santri-santri itu tampak mengantuk, berdiri lemas, bercanda, diam serius, hingga ada pula yang meringis sakit. Mereka mengikatkan diri dalam tradisi ibadah berjamaah, sepanjang waktu, selama mereka ada di pesantren.

Ada yang mengatakan, mungkin karena doa-doa anak-anak seperti inilah, maka Allah selalu menjaga keadaan bangsa ini, memberi rizki, memberi ketenangan. Meskipun sebagian besar penduduknya –maaf- meremehkan agamanya. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Saya setuju dengan pandangan tersebut dan mendoakan para santri itu. Semoga Allah selalu membimbing mereka, menjaga mereka, memberikan ilmu bermanfaat, mendidik jiwa mereka, memberikan istiqamah sampai akhir hayat, menolong mereka atas setiap kesulitan yang dihadapi, memberi sehat wal ‘afiat, menghibur hati mereka dengan kesibukan-kesibukan positif, serta menjadikan mereka bermanfaat bagi dirinya sendiri, orangtua dan keluarganya, lingkungan, dan kaum Muslimin secara umum, di muka bumi ini. Amin Allahumma amin. [Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabih ajma’in].

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor

Nasehat Pimpinan Gontor

Ada sebuah nasehat bagus dari pimpinan Gontor, KH. Abdullah Sykri Zarkasyi. Ketika berbicara tentang nilai perjuangan, beliau mengatakan:
Apa yang kita mau? Lapangan perjuangan, ataukah lapangan kehidupan? Banyak orang mengejar kehidupan, dan mereka berkata, “Bagaimana kita hidup, sedangkan mencari sesuap nasi saja belum bisa. Mau berjuang, apa yang akan dijadikan untuk berjuang?” Ini salah. Ada sebuah Hadits Qudsi menerangkan, bahwa Allah berkata kepada hamba-Nya: “Wahai hamba-Ku, mengapa engkau tidak memberi-Ku makan, sedangkan Aku memberimu makan?” Hamba itu menjawab, “Bagaimana aku memberi-Mu makan, sedangkan Engkau Rabbul ‘alamin?” Allah menjawab: “Bukan itu. Kamu memberi makan orang-orang yang tak bisa makan, itu berarti kamu telah memberi-Ku makan.” Allah bertanya kembali, “Mengapa kamu tidak mendoakan-Ku, sedangkan Aku selalu mendoakanmu?” Hamba itu menjawab, “Ya Allah, Engkau Maha segalanya, bagaimana aku mendoakan-Mu? Apa arti doaku bagi-Mu?” Allah menimpali, “Kamu mendoakan orang-orang yang perlu kamu doakan, itu berarti kamu telah berdoa untuk-Ku.”

Maka dari itu, mari bertasbih ketika kita mendapat kemenangan dan pertolongan dari Allah: Hadza min fadhli Rabbi liyabluwani a’asykuru am akfuru. [Ini adalah dari karunia Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau kufur terhadap nikmat-Nya. Kalimat ini diucapkan Nabi Sulaiman atas segala kemegahan nikmat duniawi yang dilimpahkan kepadanya –pen.]. Disinilah letak keharusan kita untuk bersyukur atas segala nikmat Allah. Karena itu berarti kita bersyukur untuk diri kita sendiri.

Kembali kepada lapangan perjuangan dan lapangan penghidupan [nafkah –pen.]. Kalau kita bergelut dengan lapangan perjuangan, maka lapangan perjuangan itulah yang akan menghidupi kita. Yang memberikan kita jalan untuk penghidupan adalah lapangan perjuangan. Jangan dibalik, bahwa di balik lapangan penghidupan kita akan ada jalan menuju lapangan perjuangan. Mengapa? Sebab, in tanshurullah yanshurkum[jika kalian menolong (agama) Allah, maka Dia akan menolong kalian]. Tapi kalau kita berjuang hanya demi memperjuangkan diri sendiri, apalah arti diri kita dan perjuangan kita? Tak akan berarti apa-apa tentunya.

Manusia, terutama generasi muda terkadang tak sabar. Ketika melihat seseorang berhasil, kemudian dibarengi bisikan setan, ia akan segera ingin menjadi seperti orang itu. Lalu mulai bergejolak dalam hatinya: “Kapan…kapan?” Orang seperti ini akan mudah hancur, karena memang belum waktunya dia memperoleh apa yang ia inginkan. Ibarat anak kecil yang belum bisa mengendarai motor, lantas diberi motor, ia pun akan hancur.

Begitulah jika kita kerap merasa enak. Karena keenakan itulah orang justru menemui kehancuran. Dengan keenakan, orang tidak lagi sempat berpikir tentang lapangan perjuangan dan nasib orang lain. Yang ia pikirkan hanya keenakan diri sendiri. Sama halnya seperti ketika kita diangkat menjadi kiai di Sumatera atau Banyuwangi, namun kita belum kuat. Tentu kita akan lekas hancur.

Nonton Video : 

Disinilah letak keharusan kita untuk tegar dalam mengarungi lautan kehidupan. Ketegaran dapat dimiliki dengan jalan membiasakan diri untuk noto batin, menata hati. Kita harus latihan menata hati sehingga hati akan tertata dan terbiasa. Karena membiasakan hati dalam ketegaran yang prima itu, perlu. (Majalah Gontor, edisi bulan Juni 2008/Jumadil Awal 1429 H).

Nasehat seperti di atas sangat perlu dihayati, khususnya oleh aktivis-aktivis Islam yang terjun dalam lapangan amal Islami. Memang, tidak semua orang terjun membangun pesantren. Tetapi nilai-nilai spiritual yang dipegang dalam perjuangan itu, tidak jauh berbeda.

Saya mendengar pandangan menarik dari seorang ustadz Gontor. Kata beliau, perjuangan kita harus mencapai tingkat mujahadah, sehingga kemudian kita layak mendapat pertolongan. Mujahadah itu semacam totalitas pengorbanan dan keikhlasan dalam berjuang. Jika belum mencapai maqam mujahadah, belum dekat kepada pertolongan Allah. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Belajar Mujahadah dari Pesantren Darussalam Gontor


Kekurangan Pesantren

Sebuah pertanyaan menarik, apakah Gontor punya kekurangan? Jawabnya ya, dan itu pasti. Namanya juga pesantren yang dikelola manusia, tentu selalu ada kekurangan, kelemahan, dan khilafnya. Khilaf bisa ada dalam berbagai bentuknya. Kadang khilaf di diri pengurus; khilaf di diri ustadz; khilaf di guru pengajar; khilaf di santri; khilaf di warga Gontor; atau bahkan khilaf di fasilitas-fasilitas yang ada.

Semua ini adalah realitas manusiawi. Khilaf-khilaf itu terjadi mengiringi dinamika kehidupan manusia. Jika mencari yang sempurna tentu tidak akan ditemukan. Sejauh kita berurusan dengan manusia, tidak ada yang selamat dari kesalahan. Justru akan sangat aneh, jika ada sebuah lembaga manusia yang steril dari kesalahan (0 % of mistakes). Dalam hal ini tidak perlu ada yang diperdebatkan lagi.

Terus terang, jika harus mencatat kesalahan-kesalahan, tidak ada satu pun dari kita yang selamat dari kesalahan. Islam mengajarkan akhlak sabar, husnuzhan, tasamuh (toleransi), karena dalam interaksi antar sesama manusia ini kerap terjadi kesalahan dan kekurangan. Lagi pula, bagaimana kita berharap orang lain suci, sedangkan kita pun tidak mampu menjadi suci?

Gontor adalah pesantren manusia, tidak lepas dari salah dan kekurangan. Kewajiban setiap Muslim yang mengetahui, untuk menyampaikan nasehat dan masukan secara baik dan santun. Bagi yang mampu, tolonglah mereka dengan solusi-solusi kongkret. Setidaknya, doakan mereka agar selalu dibimbing oleh Allah. Toh, kalau mau jujur, pesantren ini tidak pernah melembagakan kesalahan. Artinya, peluang evaluasi, perbaikan, dan koreksi selalu terbuka. Insya Allah.

Seperti nasehat Al Qur’an: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan nasehat-menasehati di atas kebenaran dan kesabaran.” (Surat Al ‘Ashr).

Khatimah

Gontor bukan pesantren biasa. Ia memikul amanah besar untuk mendidik generasi muda Muslim di Indonesia. Gontor berjuang memerangi kebodohan, memerangi krisis keimanan dan moralitas, serta melahirkan jiwa mandiri. Pesantren ini besar bukan karena dipaksakan besar, tetapi disana dipenuhi syarat-syaratnya, sehingga Allah membesarkannya. Selama prinsip wakaf, ikhlas, dan mujahadah tetap dipegang teguh, selama itu insya Allah akan terus mengalir kebaikan-kebaikan.
Alangkah baik jika kita bisa mendukung gerakan pendidikan Islam ini, dengan kontribusi yang kita sanggupi. Semoga Allah selalu memudahkan, merahmati, memberi limpahan rizki, barakah, pertolongan, ampunan, dan kejayaan; kepada keluarga besar Pesantren Gontor, kepada orangtua-orangtua wali santri, kepada para dermawan pendukung pesantren, kepada kaum Muslimin di Indonesia, serta kepada Dunia Islam. Allahumma amin ya Rahiim.
Wallahu a’lam bisshawaab.

AM. Waskito.


Baca selengkapnya