Pesantren Gontor bisa dikatakan sebagai
jaringan pesantren terbesar di Indonesia. Saat ini Gontor memiliki 14 cabang
resmi di seluruh Indonesia. Belum terhitung cabang baru yang mulai dibangun di
Sumatera Barat dan Poso Sulawesi. Konon, santri Gontor saat ini mencapai
sekitar 80 ribu santri. Jika ditambah pesantren-pesantren yang didirikan para
alumni Gontor, jumlahnya bisa mencapai ratusan pesantren alumni. Dengan semua
kenyataan ini, Gontor bisa dikatakan sebagai jaringan pesantren paling besar di
Indonesia. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Sebagian orang mengatakan, “Hari ini adalah
era Gontor.” Alasannya, banyak alumni Gontor yang menjadi pejabat tinggi atau
tokoh elit. Misalnya, Din Syamsuddin, Ketua Muhammadiyyah, adalah alumni
Gontor; Hasyim Muzadi, Ketua PBNU, juga alumni Gontor; Maftuh Baisyuni, Menteri
Agama RI, juga alumni Gontor; dan Hidayat Nur Wahid (HNW), Ketua MPR juga
alumni Gontor. Dalam saat bersamaan para alumni Gontor menjadi pejabat negara
atau tokoh elit ormas.
Di kalangan pesantren Gontor, perbincangan
tentang tokoh-tokoh di atas sudah sangat masyhur. Hampir setiap santri, ustadz,
atau orangtua wali, sering membicarakan tokoh-tokoh itu, sekaligus memuji
keberhasilan sistem Gontor. Kalau saya pribadi, lebih tertarik mencermati
hal-hal lain yang lebih substansial (maknawiyah), ketimbang bicara level
jabatan. Toh, seandainya jabatan-jabatan itu kemudian gagal diemban oleh para
pemangkunya –misalnya demikian-, pihak pesantren juga yang akan ikut menanggung
getahnya. Nanti orang-orang akan mencibir, “Dari mana dulu pesantrennya?”
Sebenarnya, banyak hal yang bisa dipelajari
dari Gontor. Untuk pesantren sebesar ini tentu ada resep-resep pembangunan di
baliknya. Tanpa pertolongan Allah, bagaimana bisa mengelola kerja besar seperti
itu? Nah, ada baiknya kita sedikit belajar tentang resep-resep membangun
kebajikan seperti yang dilakukan oleh jaringan Pesantren Gontor di seluruh
Indonesia. Siapa tahu, Anda juga berminat membangun kebajikan serupa di tempat
Anda masing-masing?
Materi Pendidikan Santri
Materi pendidikan di Gontor tergolong unik. Ia
merupakan pola terpadu dengan menggabungkan berbagai target pembinaan
sekaligus. Setiap santri adalah pelajar madrasah (pendidikan agama) yang
menjalani aktivitas belajar seperti umumnya pelajar sekolah biasa. Hanya saja,
selain belajar materi pendidikan Islam, mereka belajar ilmu-ilmu umum (seperti
Matematika dan Sains), dan belajar bahasa asing (Arab dan Inggris) secara
aktif. Itu masih ditunjang dengan pembiasaan disiplin ibadah, seperti shalat
berjamaah di masjid, berdzikir, dan membaca Al Qur’an.
Dari sisi keilmuwan agama, bisa dikatakan,
santri Gontor (selain mahasiswa ISID) pemahamannya biasa, tidak istimewa. Dari
sisi ilmu Matematika dan Sains, ternyata cukup bersaing. Banyak alumni Gontor
yang kemudian bisa masuk ITB, Fakultas Kedokteran, atau sekolah ke luar negeri.
Dari sisi skill berbahasa asing, mereka memiliki modal kemampuan awal yang bisa
diandalkan. Meskipun tentu, untuk mencapai kesempurnaan, patut disempurnakan di
tingkat universitas (PT).
Di luar itu, santri-santri Gontor diajarkan
hidup sederhana. Hal itu terlihat dari menu makan sehari-hari, pakaian yang
dipakai santri, fasilitas kamar untuk santri, fasilitas mandi untuk bersama,
dan tempat tidur. Kesederhanaan ini memang merupakan filosofi pendidikan
Gontor. Mereka dididik untuk siap hidup dalam kondisi paling pahit sekalipun.
Ungkapan yang sering menjadi acuan, “Membuat anak senang, sangatlah mudah.
Tetapi membuat mereka mau hidup sederhana, sangat sulit.” Kesederhanaan juga
ditunjukkan oleh guru-guru dan ustadznya.
Selain sederhana, ialah kemandirian,
kepemimpinan, olah raga, dan kepedulian sosial (dengan cara kerja bhakti).
Santri Gontor diberi ruang untuk olah-raga, belajar kepemimpinan, dan
dilibatkan dalam kerja bakti dan usaha-usaha bisnis pesantren. Hampir semua
lini usaha di Gontor digerakkan oleh santri-santri sendiri dengan sistem tugas
dan penjadwalan tertentu. Setiap santri akan mendapat giliran memangku suatu
pekerjaan, jika waktunya telah tiba.
Prinsip Mewakafkan Diri
Para pengurus, ustadz, dan guru-guru yang
terlibat di pesantren Gontor terikat dalam komitmen yang sangat kuat. Begitu
mereka menyatakan diri bergabung dengan Gontor, dan ikhlas mengabdi di
dalamnya, mereka dianggap telah mewakafkan diri untuk
menjalankan roda pendidikan pesantren, memelihara pesantren, dan memperjuangkan
pesantren. Selama mewakafkan diri, mereka harus mau terikat dengan manajemen
dan aturan yang berlaku di Gontor. Jika tidak bersedia, mereka dipersilakan
mencari tempat beramal di luar pesantren.
Kontrak diri seperti itu sangatlah berat,
tidak mudah, terutama bagi orang-orang kota yang biasa menjalankan agenda
hidupnya sendiri. Tidak semua orang mampu terlibat di pesantren Gontor,
sebagaimana tidak semua orang akan diterima mengabdi disana. Diperlukan proses
seleksi yang cukup panjang untuk menerima tenaga-tenaga yang akan mewakafkan
dirinya di pesantren. Selain seleksi pengetahuan, komitmen keimanan, loyalitas
kepesantrenan, juga seleksi ruhaniyah dengan memohon petunjuk kepada Allah.
Situasinya mirip seperti Pesantren
Hidayatullah. Kader-kader Hidayatullah juga mengikatkan diri dengan kontrak
mewakafkan diri untuk mengembangkan Pesantren Hidayatullah. Hanya bedanya,
Hidayatullah mengembangkan banyak target gerakan dakwah; sedangkan Gontor lebih
fokus di bidang pendidikan formal kepesantrenan. Dari sisi fokus pendidikan,
Gontor seperti jaringan pendidikan Islam Al Azhar di Mesir, dan dari sisi
komitmen para pengurus dan asatidzah-nya, mereka terikat kontrak mewakafkan
diri.
Pihak pesantren sendiri bertanggung-jawab
memberikan dukungan kebutuhan sosial-ekonomi kepada para pengurus dan asatidzah
Gontor. Tentu nilai dukungan itu disesuaikan kebijakan, kemampuan, dan
manajemen Gontor sendiri.
Bukan hanya faktor mewakafkan diri itu yang
layak dihargai, tetapi ketekunan mereka untuk mengawal sistem pendidikan Islam
selama bertahun-tahun, serta aktivitas kepesantrenan yang berulang-ulang,
dengan tidak mengeluh dan merasa jemu, hal itu sangat patut dipuji. Semoga
Allah Ta’ala menolong mereka dalam mujahadah-nya melayani Ummat Islam.
Allahumma amin.
Saya sendiri, kalau mengukur diri, rasanya
kelu untuk memandang beban perjuangan yang tidak ringan itu. Bagaimana bisa
sabar? Bagaimana bisa tahan? Ya, Allah Ar Rahiim menolong siapapun yang
menolong agama-Nya. “Dan Allah benar-benar akan menolong siapa yang menolong
(agama)-Nya.” (Al Hajj: 40).
Lalu bagaimana cara Allah menolong mereka? Ya,
jangan pikirkan sampai sejauh itu. Nanti hanya akan membebani diri sendiri.
Pengorbanan Pendiri
Pesantren Gontor didirikan oleh sebuah
keluarga. Semula ia dirintis oleh seorang ulama, sampai suatu waktu. Setelah
beliau meninggal, Gontor sempat vakum untuk beberapa lama. Kemudian isteri
ulama itu memberikan amanah kepada ketiga putranya untuk melanjutkan kerja
besar ayahnya. Ketiga orang itulah yang kemudian dikenal sebagai Trimurti,
tiga tokoh pendiri pesantren Gontor. Mereka kakak-beradik, yaitu KH. Ahmad
Sahal (tertua), KH. Zainuddin Fannanie (di tengah), KH. Imam Zarkasyi (akhir).
Dari ketiganya, masyarakat lebih mengenal KH. Imam Zarkasyi. Beliau wafat 30
April 1985.
Biasanya, pesantren itu didominasi oleh
pendirinya dan keluarga mereka. Baik badan, fasilitas, maupun aset biasanya
dimiliki oleh pendiri dan ahli warisnya. Bahkan banyak pesantren yang sekaligus
merangkap badan usaha (bisnis). Target bisnisnya adalah santri-santri dan
keluarga mereka. Tetapi di Gontor, pesantren itu telah diwakafkan untuk
kepentingan Ummat Islam. Meskipun pendirinya keluarga, tetapi statusnya
diwakafkan untuk kebajikan Ummat Islam. Pengelolaan pesantren Gontor sendiri
ditangani sebuah Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor. Badan
inilah yang mengelola pesantren yang telah dipindah-tangankan dari keluarga
para pendirinya. Ketua MPR saat ini, Dr. Hidayat Nur Wahid masuk dalam salah
satu pengurus Badan Wakaf ini bersama Prof. Din Syamsuddin. Kalau tidak salah,
pengalihan kepemilikan itu dilakukan pada tahun 1959 lalu.
Tentu merupakan pengorbanan luar biasa,
menyerahkan sebuah lembaga pendidikan pesantren yang dibangun dengan
susah-payah menjadi status wakaf demi kebajikan Ummat Islam. Hanya sedikit
sekali pendiri pesantren yang berani menempuh langkah tersebut, dengan segala
perhitungan resikonya. Dan saya mengira, wallahu a’lam bisshawaab, pengorbanan
besar inilah salah-satunya sebab kemajuan Gontor yang pesat di kemudian hari.
Komitmen Nilai Islami
Gontor memiliki komitmen kuat terhadap
nilai-nilai Islam. Hal itu terbukti dengan penerapan prinsip-prinsip Islam di
lingkungan pesantren. Setiap wanita yang masuk pesantren diwajibkan berjilbab.
Tamu laki-laki dan wanita dipisah tempat istirahatnya selama di pesantren.
Pesantren untuk santri laki-laki terpisah jauh dengan pesantren untuk satri
wanita. Tidak ada penyatuan santri (siswa) seperti layaknya sekolah-sekolah
madrasah umum. Disiplin halal-haram juga dijaga ketat. Hingga, setiap santri
laki-laki saat tidur malam harus memakai celana panjang (bukan sarung). Hal itu
untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Jika ada
pelanggaran-pelanggaran serius, seorang santri akan dipulangkan ke orangtuanya.
Kasus pencurian, keluar pesantren tanpa ijin, berkelahi, pemukulan, dan lainnya
sanksinya keras. Hingga ketahuan membawa HP saja sudah cukup bagi seorang
santri diberi peringatan keras. [Mereka dilatih mandiri dan dilarang membawa
HP. Dibiasakan menghadapi realitas sehari-hari secara mandiri].
Sejak bertahun-tahun lalu,
cendekiawan-cendekiawan Gontor telah bekerja keras menentang arus pemikiran
SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme). Mereka berada di balik pusat
studi INSIST yang intensif menetralisir racun-racun pemikiran SEPILIS. Mereka
juga mempunyai Sekolah Tinggi ISID dengan kurikulum yang tidak memberi ruang
bagi berbiaknya paham SEPILIS. Nurcholish Madjid diakui sebagai tokoh penting
oleh civitas Gontor, tetapi dia tidak dianggap sebagai cendekiawan yang menjadi
rujukan pemikiran. Salah satu kegiatan ilmiah di lingkungan ISID ialah
pelatihan Oksidentalisme (mengkritisi peradaban Barat; sebuah
cabang keilmuwan yang merupakan lawan Orientalisme).
Memang Gontor tidak menganut haluan pemikiran
bercorak radikal, mereka lebih cenderung kepada madzhab pemikiran moderat;
tetapi tidak berarti plin plan dalam isu-isu akidah Islam.
Komitmen Gontor terhadap ajaran keislaman mainstream tidak diragukan lagi. Eksistensi
pesantren itu sendiri selama 80 tahunan, membuktikan komitmen tersebut.
Merangkul Semua Golongan
Kalau kita ikut shalat berjamaah di Gontor,
tradisi ibadah yang dilaksanakan cenderung seperti tradisi NU. Tetapi Gontor
bukan pesantren bercorak NU, bukan pesantren bercorak Muhammadiyyah, Persis,
dan sebagainya. Gontor memegang prinsip, “Berdiri di atas semua golongan!” Oleh
karena itu, semua kalangan Muslim Ahlus Sunnah di Indonesia
atau dari luar negeri, disambut dengan baik di pesantren ini. Mereka tidak
menampakkan diri sebagai penganut madzhab tertentu, tetapi mereka menerima
keragaman kondisi kaum Muslimin.
Doa Ribuan Santri
Sangat mengharukan kalau menyaksikan ribuan
santri Gontor, berduyun-duyun ke masjid, melakukan shalat berjamaah, melakukan
shalat Sunnah, membaca Al Qur’an, berdzikir, dan berdoa bersama-sama. Hal itu
dilakukan terus-menerus setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun,
bahkan selama puluhan tahun. Kadang santri-santri itu tampak mengantuk, berdiri
lemas, bercanda, diam serius, hingga ada pula yang meringis sakit. Mereka
mengikatkan diri dalam tradisi ibadah berjamaah, sepanjang waktu, selama mereka
ada di pesantren.
Ada yang mengatakan, mungkin karena doa-doa
anak-anak seperti inilah, maka Allah selalu menjaga keadaan bangsa ini, memberi
rizki, memberi ketenangan. Meskipun sebagian besar penduduknya –maaf-
meremehkan agamanya. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Saya setuju dengan pandangan tersebut dan
mendoakan para santri itu. Semoga Allah selalu membimbing mereka, menjaga
mereka, memberikan ilmu bermanfaat, mendidik jiwa mereka, memberikan istiqamah
sampai akhir hayat, menolong mereka atas setiap kesulitan yang dihadapi,
memberi sehat wal ‘afiat, menghibur hati mereka dengan kesibukan-kesibukan
positif, serta menjadikan mereka bermanfaat bagi dirinya sendiri, orangtua dan
keluarganya, lingkungan, dan kaum Muslimin secara umum, di muka bumi ini. Amin
Allahumma amin. [Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa
ashabih ajma’in].
Nasehat Pimpinan Gontor
Ada sebuah nasehat bagus dari pimpinan Gontor,
KH. Abdullah Sykri Zarkasyi. Ketika berbicara tentang nilai perjuangan, beliau
mengatakan:
Apa yang kita mau? Lapangan perjuangan, ataukah lapangan
kehidupan? Banyak orang mengejar kehidupan, dan mereka berkata, “Bagaimana kita
hidup, sedangkan mencari sesuap nasi saja belum bisa. Mau berjuang, apa yang
akan dijadikan untuk berjuang?” Ini salah. Ada sebuah Hadits Qudsi menerangkan,
bahwa Allah berkata kepada hamba-Nya: “Wahai hamba-Ku, mengapa engkau tidak memberi-Ku
makan, sedangkan Aku memberimu makan?” Hamba itu menjawab, “Bagaimana aku
memberi-Mu makan, sedangkan Engkau Rabbul ‘alamin?” Allah menjawab: “Bukan itu.
Kamu memberi makan orang-orang yang tak bisa makan, itu berarti kamu telah
memberi-Ku makan.” Allah bertanya kembali, “Mengapa kamu tidak mendoakan-Ku,
sedangkan Aku selalu mendoakanmu?” Hamba itu menjawab, “Ya Allah, Engkau Maha
segalanya, bagaimana aku mendoakan-Mu? Apa arti doaku bagi-Mu?” Allah
menimpali, “Kamu mendoakan orang-orang yang perlu kamu doakan, itu berarti kamu
telah berdoa untuk-Ku.”
Maka dari itu, mari bertasbih ketika kita mendapat kemenangan
dan pertolongan dari Allah: Hadza min fadhli Rabbi liyabluwani
a’asykuru am akfuru. [Ini adalah dari karunia Rabb-ku untuk mengujiku,
apakah aku bersyukur atau kufur terhadap nikmat-Nya. Kalimat ini diucapkan Nabi
Sulaiman atas segala kemegahan nikmat duniawi yang dilimpahkan kepadanya
–pen.]. Disinilah letak keharusan kita untuk bersyukur atas segala nikmat
Allah. Karena itu berarti kita bersyukur untuk diri kita sendiri.
Kembali kepada lapangan perjuangan dan lapangan penghidupan
[nafkah –pen.]. Kalau kita bergelut dengan lapangan perjuangan, maka
lapangan perjuangan itulah yang akan menghidupi kita. Yang memberikan kita
jalan untuk penghidupan adalah lapangan perjuangan. Jangan dibalik, bahwa di
balik lapangan penghidupan kita akan ada jalan menuju lapangan perjuangan.
Mengapa? Sebab, in tanshurullah yanshurkum[jika kalian menolong
(agama) Allah, maka Dia akan menolong kalian]. Tapi kalau kita berjuang hanya
demi memperjuangkan diri sendiri, apalah arti diri kita dan perjuangan kita?
Tak akan berarti apa-apa tentunya.
Manusia, terutama generasi muda terkadang tak sabar. Ketika
melihat seseorang berhasil, kemudian dibarengi bisikan setan, ia akan segera
ingin menjadi seperti orang itu. Lalu mulai bergejolak dalam hatinya:
“Kapan…kapan?” Orang seperti ini akan mudah hancur, karena memang belum
waktunya dia memperoleh apa yang ia inginkan. Ibarat anak kecil yang belum bisa
mengendarai motor, lantas diberi motor, ia pun akan hancur.
Begitulah jika kita kerap merasa enak. Karena keenakan itulah
orang justru menemui kehancuran. Dengan keenakan, orang tidak lagi sempat
berpikir tentang lapangan perjuangan dan nasib orang lain. Yang ia pikirkan
hanya keenakan diri sendiri. Sama halnya seperti ketika kita diangkat menjadi
kiai di Sumatera atau Banyuwangi, namun kita belum kuat. Tentu kita akan lekas
hancur.
Disinilah letak keharusan kita untuk tegar dalam mengarungi
lautan kehidupan. Ketegaran dapat dimiliki dengan jalan membiasakan
diri untuk noto batin, menata hati. Kita harus latihan menata
hati sehingga hati akan tertata dan terbiasa. Karena membiasakan hati dalam
ketegaran yang prima itu, perlu. (Majalah Gontor, edisi bulan Juni 2008/Jumadil
Awal 1429 H).
Nasehat
seperti di atas sangat perlu dihayati, khususnya oleh aktivis-aktivis Islam
yang terjun dalam lapangan amal Islami. Memang, tidak semua orang terjun
membangun pesantren. Tetapi nilai-nilai spiritual yang dipegang dalam
perjuangan itu, tidak jauh berbeda.
Saya
mendengar pandangan menarik dari seorang ustadz Gontor. Kata beliau, perjuangan
kita harus mencapai tingkat mujahadah, sehingga kemudian kita layak
mendapat pertolongan. Mujahadah itu semacam totalitas pengorbanan dan
keikhlasan dalam berjuang. Jika belum mencapai maqam mujahadah, belum dekat
kepada pertolongan Allah. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Kekurangan Pesantren
Sebuah pertanyaan menarik, apakah Gontor punya
kekurangan? Jawabnya ya, dan itu pasti. Namanya juga pesantren yang dikelola
manusia, tentu selalu ada kekurangan, kelemahan, dan khilafnya. Khilaf bisa ada
dalam berbagai bentuknya. Kadang khilaf di diri pengurus; khilaf di diri
ustadz; khilaf di guru pengajar; khilaf di santri; khilaf di warga Gontor; atau
bahkan khilaf di fasilitas-fasilitas yang ada.
Semua ini adalah realitas manusiawi.
Khilaf-khilaf itu terjadi mengiringi dinamika kehidupan manusia. Jika mencari
yang sempurna tentu tidak akan ditemukan. Sejauh kita berurusan dengan manusia,
tidak ada yang selamat dari kesalahan. Justru akan sangat aneh, jika ada sebuah
lembaga manusia yang steril dari kesalahan (0 % of mistakes). Dalam hal ini
tidak perlu ada yang diperdebatkan lagi.
Terus terang, jika harus mencatat
kesalahan-kesalahan, tidak ada satu pun dari kita yang selamat dari kesalahan.
Islam mengajarkan akhlak sabar, husnuzhan, tasamuh (toleransi), karena dalam
interaksi antar sesama manusia ini kerap terjadi kesalahan dan kekurangan. Lagi
pula, bagaimana kita berharap orang lain suci, sedangkan kita pun tidak mampu
menjadi suci?
Gontor adalah pesantren manusia, tidak lepas
dari salah dan kekurangan. Kewajiban setiap Muslim yang mengetahui, untuk
menyampaikan nasehat dan masukan secara baik dan santun. Bagi yang mampu,
tolonglah mereka dengan solusi-solusi kongkret. Setidaknya, doakan mereka agar
selalu dibimbing oleh Allah. Toh, kalau mau jujur, pesantren ini tidak pernah
melembagakan kesalahan. Artinya, peluang evaluasi, perbaikan, dan koreksi
selalu terbuka. Insya Allah.
Seperti nasehat Al Qur’an: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman,
beramal shalih, dan nasehat-menasehati di atas kebenaran dan kesabaran.”
(Surat Al ‘Ashr).
Khatimah
Gontor bukan pesantren biasa. Ia memikul
amanah besar untuk mendidik generasi muda Muslim di Indonesia. Gontor berjuang
memerangi kebodohan, memerangi krisis keimanan dan moralitas, serta melahirkan
jiwa mandiri. Pesantren ini besar bukan karena dipaksakan besar, tetapi disana
dipenuhi syarat-syaratnya, sehingga Allah membesarkannya. Selama prinsip wakaf,
ikhlas, dan mujahadah tetap dipegang teguh, selama itu insya Allah akan terus
mengalir kebaikan-kebaikan.
Alangkah baik jika kita bisa mendukung gerakan
pendidikan Islam ini, dengan kontribusi yang kita sanggupi. Semoga Allah selalu
memudahkan, merahmati, memberi limpahan rizki, barakah, pertolongan, ampunan,
dan kejayaan; kepada keluarga besar Pesantren Gontor, kepada orangtua-orangtua
wali santri, kepada para dermawan pendukung pesantren, kepada kaum Muslimin di
Indonesia, serta kepada Dunia Islam. Allahumma amin ya Rahiim.
Wallahu a’lam bisshawaab.
AM. Waskito.