Di Pesantren, Ujian Untuk Belajar Bukan Belajar Untuk Ujian
Dalam menghadapi ujian, pesantren mempunyai prinsip tersendiri yang harus di pahami oleh santri, dan harus di amalkan untuk mendapat nilai yang optimal dalam ujian, nilai yang sangat berharga sebagai modal untuk mengarungi kehidupan kelak.
Prinsip ini dipopulerkan oleh
Pondok Modern Darussalam Gontor melalui Kyainya KH. Hasan Abdullah Sahal.
Gontor selalu menjadi inspirasi untuk pesantren lain khususnya pesantren yang
menganut sistem modern dan mengikuti kurikulum yang di gunakan oleh Gontor.
“kita menuntut ilmu untuk menjadi orang baik, bukan orang yang
bisa menjawab pertanyaan ujian saja. ujian untuk belajar bukan belajar untuk
ujian. Jangan salah kaprah.”
Melalui bait kata-kata diatas, pesantren ingin mengatakan kepada
santri bahwa nilai utama yang harus digapai melalui ujian bukanlah pada hasil
nilai yang tertulis di lembaran kertas, yang kemudian menjadi kebanggaan santri untuk
diperlihatkan kepada orang tua, melainkan predikat yang harus diraih adalah
adanya perubahan sikap pada diri santri itu
sendiri yang berubah menjadi lebih baik setelah mengikuti ujian.
Pola pikir santri dalam menghadapi ujian harus menjadi “ kita
belajar untuk menjadi orang baik” bukan sebaliknya. Didalam menghadapi ujian
ada fase-fase yang harus dijalani, memulai dengan sebuah niat, kesungguhan,
usaha yang keras dan tentunya di imbangi dengan do’a. Dari totalitas kehidupan
yang dijalani selama ujian inilah akan terbentuk suatu nilai dan kecerdasan spiritual pada
santri.
Dan salah satu nilai plus pesantren dalam menghadapi ujian
adalah pengkondisian. Pesantren menciptakan suasana dan ruh ujiannya. Dan semua
kegiatan selain yang berkenaan dengan belajar akan diberhentikan untuk
sementara waktu, semua santri harus focus pada ujian. Ketika ruh ujian ini
sudah tercipta, maka santri sulit terpengaruhi dengan kegiatan lain kecuali
untuk belajar dan beribadah. Dan mungkin ini yang tidak didapatkan di luar
pesantren, ruh ujian siswa sering terganggu dengan kegiatan lain dengan aneka
ragam kegiatan yang sifatnya diluar sekolah.
Dan selama pengkondisian ini, para santri terus diarahkan oleh
ustadz(ah)-nya melalui bimbingan belajar yang terkontrol pada malam hari,
melalui nasehat-nasehat kyainya, diberikan tips-tips tertentu dalam menghadapi
ujian, kemudian belum lagi dengan kegiatan sahiral layalnya (bangun ditengah
malam untuk tahajud dan belajar), yang intinya pola pikir santri terus ditata
menjadi lebih baik dalam menghadapi ujian.
Baca Juga :
Baca Juga :
Menjadi Santri, Beratnya Perjuangan Namun Kaya Pengalaman
Kenapa pola pikir dalam menghadapi ujian “ kita belajar untuk
menjadi orang baik” ini perlu ditanamkan pada jiwa santri ? Karena problematika
dalam keseharian proses pendidikan kita hari ini adalah masih banyak para pelajar
yang menganggap belajar hanya untuk bisa menjawab soal-soal mata pelajaran yang
diujikan. Padahal, makna pelajar lebih dari itu.
Nasehat KH. Hasan
Abdullah Sahal sangat menyentuh dan menginspirasi, banyak kejadian hidup
yang harus kita maknai, dan tugas terbesar kita hidup pun untuk memaknai
hidup. Seluruh aspek yang kita lakukan berawal dari sebuah pemikiran. Perlakuan
yang salah karena dari pemikiran yang salah pula. Maka kita harus tata
pemikiran dengan rapi dan benar. “kita belajar untuk menjadi orang baik.”
Di zaman yang modern ini
banyak kita temukan orang yang pintar sekali, namun akhlak dan kelakuannya
tidak mencermikan kepintarannya. Banyak orang yang merelakan sikap
kejujurannya, hanya demi sebuah angka yang tinggi.
Masya Allah, miris sekali rasanya melihat para pelajar yang
membeli jawaban pertanyaan ujian. Mereka rela berbuat kecurangan hanya untuk
sebuah angka yang tertera dalam sebuah kertas.
Baca Juga :
Baca Juga :
Wajib Baca ! Ini Dia Pesan KH. Hasan Abdullah Sahal Untuk Wali Santri
Orang tua yang baik pasti menyekolahkan anaknya untuk menjadi
orang yang baik dan bermanfaat bukan ? maka jangan salah melangkah. Untuk apa
pintar tapi korupsi dan menyusahkan orang lain ? untuk apa pintar tapi selalu
membuat kriminal ? sebagai manusia kita diberikan fitrah untuk mengetahui dan
memilih mana yang salah dan mana yang benar.
Melangkah ke jalan yang benar dan melangkah ke jalan yang salah
itu juga termasuk pilihan hidup . Negara-negara yang memiliki sistem pendidikan
yang baik menganggap anak yang tidak bisa matematika lebih baik dari pada anak
yang tidak bisa mengantri, karena tidak bisa mengantri adalah masalah sosial
dan akhlak.
Di era modern saat ini, tentu orang yang hanya bermodalkan baik
saja tidak cukup untuk kompeten dan bersaing. Butuh kualitas dan kreativitas.
Maka antara intelektual dan akhlak harus seimbang.
Di Pesantren kedua hal tersebut sangat diperhatikan, akhlak dan
intelektual. Maka sangat benar apa yang dikatakan KH. Hasan Abdullah Sahal “ menuntut ilmu untuk menjadi orang baik”
bukan hanya untuk menjawab soal-soal dalam ujian saja. karena belajar itu luas
dan mencakup hal yang sangat banyak. Kalau kita hanya menjadi manusia yang
pintar dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam soal ujian saja, nanti
akan menjadi pintar namun tak bermoral sehingga dapat dengan mudah membuat
kejahatan. Maka jangan salah kaprah !
Baca Juga :
Baca Juga :
9 Tips Menarik Untuk Santri Baru Agar Betah di Pesantren
Pada akhirnya, kita memang tidak menafikan bahwa nilai yang
terlihat di lembaran kertas itu penting, apalagi dengan sistem pendidikan
Indonesia hari ini, nilai tersebut menjadi acuan bagi siapa saja untuk menilai
kualitas seseorang. Namun, ada variabel
lain dalam kehidupan ini yang harus diketahui dan ini jauh lebih penting dari
pada nilai yang tertera pada ijazah maupun rapor siswa, yaitu nilai-nilai moral dan akhlak yang harus
melekat pada prinsip kehidupan seseorang, dan ini menjadi modal utama dalam
dunia pendidikan “adab lebih tinggi dari pada ilmu”. Maka mengimbangi antara
keduanya jauh lebih baik, pintar berilmu dan beradab.
Untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut, pesantren selalu
berusaha mengarahkan santri ke arah yang lebih baik tak terkecuali di masa
ujian saja. Tak dapat dibantah, bahwa akhlak terpuji seseorang adalah suatu
nilai yang paling mahal pada diri seseorang. Menjadi nilai yang tidak dapat
dihargai dengan angka, ia selalu berada diatas segala-galanya yang bermuara
pada nilai ibadah dan spiritual seseorang.
“Banyak orang bertitel, tapi tidak berkualitas. Dan banyak orang
yang berkualitas, walaupun mereka tidak bertitel.”- KH. Hasan Abdullah Sahal